Arsitek Kehidupan Rimba di Hutan Gerbang Barito
- Wildlife Works
- 17 Jul
- 3 menit membaca
Diperbarui: 4 hari yang lalu
Oleh: Penjaga Atap Hutan Proyek REDD+ Gerbang Barito
Aku tidak memiliki rencana di atas kertas. Tak ada penggaris maupun sketsa. Tetapi setiap hari, saat matahari menembaus kabut hutan gambut, aku kembali membangun dari awal sarang yang menggantung tenang di antara cabang-cabang tinggi.
Aku menatap ke atas, mencari pohon yang tepat. Tidak terlalu muda dan tidak rapuh. Mata aku tahu hal-hal yang tak akan kau temukan di dalam buku. Cabang mana yang lentur tapi kuat, mana yang bisa menahan hembusan angin, dan daun mana yang cukup lebar untuk melindungi wajah anak aku dari tetes hujan.
Sebagian orang menyebutnya naluri. Aku menyebutnya ingatan yang tumbuh bersama waktu.
Dari ibu aku, aku belajar cara membaca sudut dan menjaga keseimbangan. Dari angin, aku belajar tetap teguh meski diterpa. Dari nyanyian hutan, aku tahu kapan harus merajut lebih erat, dan kapan harus tidur sambil berjaga.
Malam ini, aku akan merangkai rumah dari ranting dan daun, buaian sederhana yang ditenun dengan penuh perhitungan. Aku akan memilih tempat yang tak terlalu tinggi agar tak mudah terlihat, tapi cukup aman dari bahaya. Aku ingin membangun ruang yang teduh dari hujan, cukup luas untuk melihat sekeliling, dan cukup nyaman untuk aku berkata, di sinilah tempatku.
Bukan sekali, bukan dua kali. Ini adalah pekerjaan yang terus aku ulang, hampir setiap hari, sepanjang hidup aku.
Sebagian dari kami memilih membangun sarang yang rendah, lebar, dan kokoh. Para jantan dewasa tidur lebih awal, lalu terbangun saat kabut pagi masih menyelimuti hutan. Sarang mereka terjalin kuat di antara dua batang pohon, seperti ayunan besar yang dirancang oleh alam. Di sanalah tubuh kami beristirahat, percaya bahwa malam ini, kami akan aman.

Lincah dalam gerak, tenang dalam diam, orang utan muda lebih suka menyusun sarang di ketinggian, tersembunyi rapat di balik daun. Tak mudah ditemukan, kecuali oleh mereka yang tahu ke mana harus menatap. Mereka memilih ujung yang sepi, tempat terbaik untuk belajar melihat dan bersabar.
Para ibu merangkai sarangnya di pucuk hutan, pada ketinggian yang pas, tak terlalu dekat dengan langit, tak terlalu dekat dengan tanah. Tempat di mana bayi dibuai, dan balita belajar menggenggam sebelum berbicara. Sarang yang dibangun perlahan, dengan kekuatan yang tersembunyi di balik kelembutan.
Setiap posisi memiliki cerita.
Mungkin terlihat seolah kami semua merangkai sarang dengan cara yang serupa. Tapi sebenarnya, tiap sarang adalah hasil dari keputusan yang penuh pertimbangan tentang bahaya dan perlindungan, tentang kenyamanan dan ketenangan. Di balik kerja yang senyap, tersimpan pemikiran yang tak kalah dalam dari milikmu.
Tapi bahkan perajut sarang yang paling piawai pun tetap butuh pohon.
Kini, pohon-pohon itu semakin jarang. Yang tinggi dan kokoh seperti Shorea dan Dipterocarpus, sahabat lama kami, satu demi satu tumbang atau menghilang. Ada yang roboh dengan suara gemuruh, ada pula yang lenyap diam-diam. Atap hutan yang dulu utuh kini berlubang-lubang, seperti senyum yang kehilangan giginya. Dan setiap pohon yang hilang membuat setiap pilihan jadi lebih rumit.
Yang hilang bukan sekadar tempat berteduh, tapi juga pilihan.
Aku pernah memanjat pohon yang kulitnya terasa membakar, dengan akar yang kering dan retak. Pernah juga membangun sarang di antara ranting-ranting tipis, terlalu lemah untuk menopang harapan. Dan pernah, aku tidur bukan diiringi suara alam, melainkan deru mesin, meretas jalan yang tak pernah kami minta.
Namun aku tetap membuat sarang.
Saat dahan patah, aku bangun kembali. Saat sarang anak aku terlalu goyah diterpa angin, aku perkuat. Tapi jauh di dalam hati, aku mulai khawatir, kelak ketika dia tumbuh dewasa, masihkah ada cukup pohon untuk ia pilih?
Aku memang arsitek. Tapi bahkan artsitek tak bisa membangun bila tak ada lagi yang tersisa. Karena itu, aku bicara padamu, bukan sebagai obyek dalam risetmu, bukan hanya sebuah angka dalam laporan. Tapi sebagai sesama makhluk hidup.
Jika suatu hari kamu melihat sarangku, ingatlah, itu bukan sekadar tumpukan daun. Itu adalah tanda bahwa kami masih berani bertahan di sini. Bahwa pikiran, keahlian, dan kenangan masih bernafas di antara pohon-pohon. Bahwa hutan ini belum benar-benar sunyi.
Lindungi pohon-pohon itu, maka kamu turut menjaga harapan. Harapan untuk terus membangun, beristirahat, dan membesarkan anak-anak dalam damai. Biarkan dahan-dahan tetap kokoh, agar generasi selanjutnya masih punya tempat untuk percaya. Biarkan hutan tetap hening, agar tawa anak-anak kami masih bisa bergema di antara daun.
Kamu hidup di antara gedung.
Kami di antara dahan.
Semoga kita bisa tetap berbagi bumi yang sama.

Potret orang utan yang tertangkap kamera jebak di Proyek REDD+ Gerbang Barito