top of page

Jejak Literasi Desa bagi Perlindungan Hutan

  • tamaraanisa4
  • 5 jam yang lalu
  • 3 menit membaca

“Awalnya saya ikut lomba cuma coba-coba saja, bu. Tapi ternyata dari situ saya jadi tahu cara menulis yang benar, bahkan bisa menambah teman baru,” kata Beni, 23 tahun, salah satu peserta lomba menulis dari Desa Batilap. Bagaimana cara masyarakat desa menjaga hutan, selain dengan tangan dan tenaga? Jawabannya lewat kata-kata.


ree

Bersuara Melalui Tulisan

Proyek REDD+ Gerbang Barito menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam pelestarian hutan dan pengelolaan sumber daya alam. Namun, suara mereka, terutama perempuan dan anak muda, masih jarang terdengar dalam narasi publik. Melalui kompetisi menulis “Akar dan Kata,” Wildlife Works Indonesia (WWI) membuka ruang partisipasi inklusif yang menjaring potensi lokal dalam mendokumentasikan pengalaman hidup, pengetahuan adat, dan relasi masyarakat dengan alam. Cerita-cerita itu tidak hanya memperkaya konten komunikasi proyek, tetapi juga diharapkan dapat memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap inisiatif REDD+.


Untuk menindaklanjuti antusiasme tersebut, WWI mengadakan pelatihan menulis pada 23–24 Agustus 2025 dan akan ada pelatihan lanjutan pada bulan Oktober. Pelatihan ini membantu peserta mengasah keterampilan teknis sekaligus menumbuhkan keberanian mereka menyuarakan realitas, nilai, dan aspirasi. Dengan pendekatan partisipatif, warga didorong menjadi produsen cerita yang otentik, narasi perlindungan hutan yang lahir dari akar rumput.


Jejak Kata dari Desa

Sebanyak 29 orang dari Desa Batilap dan Batampang mengikuti lomba menulis, dengan rentang usia 15 hingga 56 tahun. Mayoritas peserta adalah anak muda yang membawa semangat segar dalam bercerita. Dari lomba ini dipilih 10 pemenang yang kemudian mengikuti pelatihan menulis, bukan semata untuk mencari juara, tetapi untuk membuka ruang baru bagi ekspresi dan potensi.



Normilla, 19 tahun, dari Desa Batampang, mengaku menulis memberinya kesempatan mengembangkan bakat yang ia pendam. “Saya suka membaca novel, lalu terinspirasi membuat cerita tentang alam,” ujarnya. Sepupunya, Ayu Dya Nabila, 16 tahun, merasakan hal yang berbeda, “Lewat pelatihan ini saya jadi belajar public speaking, saya pemalu, tapi saya ingin bisa bicara di depan banyak orang.” Bagi keduanya, kegiatan ini bukan hanya tentang tulisan, tetapi juga tentang keberanian tampil dan berbagi.



Beni dari Desa Batilap punya cerita lain. Ia tidak pernah menyukai menulis sebelumnya. “Kalau lomba itu tantangannya diolah ceritanya, supaya mudah dipahami pembaca. Tapi setelah pelatihan saya jadi tahu cara menulis paragraph dan titik koma yang benar,” jelasnya. Tak hanya itu, hal yang paling berkesan baginya adalah berkenalan dengan teman-teman baru. “Banyak teman baru, banyak pengalaman baru. Harapan saya semoga pelatihan seperti ini bisa ada lagi ke depannya.”


Para peserta pun belajar menghadapi tantangan menulis. Normilla mencoba menulis cerita faktual berdasarkan kenangan masa kecil, yang harus ia susun detail agar dapat dipertanggungjawabkan. “Proses mengingat detail itu yang paling susah. Tapi dari situ saya belajar banyak,” katanya. Nabila menambahkan, “Butuh waktu beberapa hari, dan harus mengingat lagi kejadian lama. Tapi hasilnya membuat saya ingin terus menulis dan memperbaiki kata-kata saya.”


ree

Ada juga Mulia, 15 tahun, dari Batampang, yang datang dengan pengalaman berbeda. Untuk pertama kalinya ia bertemu orang dari luar desanya. “Aku malu dan tegang kalau diminta maju,” katanya. Meski pemalu, ia menyimpan mimpi besar. “Bahasa Inggris adalah pelajaran favoritku. Aku juga belajar bahasa Mandarin lewat internet karena aku punya mimpi ingin bekerja di China.”


Pelatihan ini juga mengajak peserta menghadapi tantangan menulis itu sendiri. Normilla mencoba menulis cerita faktual berdasarkan kenangan masa kecil yang harus ia susun dengan detail agar dapat dipertanggungjawabkan. “Proses mengingat detail itu yang paling susah. Tapi dari situ saya belajar banyak,” katanya. Nabila menambahkan, “Butuh waktu beberapa hari, dan harus mengingat kembali kejadian lama. Tapi hasilnya membuat saya ingin terus menulis dan memperbaiki kemampuan saya.”


Selain keterampilan, kebersamaan juga menjadi pelajaran penting. “Saya dapat pengalaman baru, teman baru. Harapannya ke depan bisa ikut lagi, biar bisa mengembangkan cerita saya yang masih kurang,” ujar Nabila. Normilla pun menegaskan tekadnya: “Kalau saya berhenti sekarang, tidak akan ada lagi karya saya. Jadi niatnya mau bikin lagi dalam versi yang berbeda, mungkin tentang lingkungan, mungkin tentang hal lain.”


Menjaga Hutan Lewat Tulisan

Bagi para peserta, menulis bukan sekadar latihan di atas kertas. Kata-kata menjadi saksi, warisan, sekaligus penggerak perubahan. Dari cerita masa kecil, pengalaman hidup di desa, hingga pandangan tentang hutan, setiap tulisan adalah cara lain untuk merawat alam. Konservasi berbasis masyarakat tidak hanya soal aksi di lapangan, tetapi juga bagaimana masyarakat merawat cerita. Dengan tulisan, entah lewat kertas, laptop, atau gawai, warga desa menjadi penjaga kisah, memastikan cerita mereka tidak hilang ditelan waktu.



Lomba dan pelatihan menulis ini hanyalah permulaan. Wildlife Works Indonesia berencana melanjutkan dengan pelatihan tahap kedua, membangun ekosistem kecil penulis desa. Harapannya, para peserta tidak berhenti menulis setelah lomba, melainkan terus melahirkan cerita, tentang hutan, tentang desa, tentang kehidupan yang mereka jalani.


Di tengah luasnya hutan Kalimantan, suara-suara muda mulai tumbuh. Mereka menulis bukan sekadar untuk menang lomba, melainkan untuk memastikan hutan dan cerita desa mereka tidak pernah hilang.

 





bottom of page