Bahasa, Budaya, dan Hutan yang Hidup dalam Cerita
- tamaraanisa4
- 17 Sep
- 2 menit membaca
Di pelosok Barito Selatan yang damai, dua desa, Batilap dan Batampang, menjaga sesuatu yang jauh lebih rapuh daripada ingatan yaitu akar budaya mereka. Di saat hutan kian sunyi dan tradisi perlahan memudar, masyarakat di Batilap dan Batampang kembali menghidupkan adat Dayak dalam keseharian mereka. Wildlife Works Indonesia (WWI) hadir mendampingi, melalui sesuatu yang sederhana namun indah yaitu kata dan cerita.
Semuanya berawal dari "Akar dan Kata", sebuah tema lomba menulis yang dipilih untuk menggambarkan akar budaya dan kekuatan kata dalam menjaga hutan. Lomba ini mengajak warga mengeksplorasi makna dari kata memiliki, mengingat, dan menulis yang berakar dari tanah kehidupan mereka sendiri. Bagi banyak orang, inilah pertama kalinya suara mereka yang biasanya hanya terdengar dalam rutinitas harian atau percakapan di tepi sungai mendapat panggung. Kata-kata yang lahir penuh kelembutan, kebanggaan, kadang juga perih, namun tetap berakar pada identitas.
Lalu hadir bakesah, tradisi bercerita Dayak Bakumpai. Untuk pertama kalinya, masyarakat berkumpul mendengarkan cerita dalam bahasa ibu mereka, sebuah bahasa yang dikhawatirkan suatu hari hanya akan tersisa dalam kepingan-kepingan, seperti daun gugur yang terserak oleh waktu. Di antara mereka duduk Damang, pemimpin adat desa, yang mendengarkan dengan penuh penghargaan. Matanya memantulkan bukan hanya kebanggaan tetapi juga kelegaan, akhirnya ada bukti nyata bahwa bahasa Dayak Bakumpai masih berdenyut.
Tema dari kedua lomba itu bukanlah kebetulan. Semuanya terikat pada adat dan perlindungan hutan, sebab bagi masyarakat Dayak, budaya dan hutan tidak terpisahkan. Hutan bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga ingatan, ritual, dan kehidupan itu sendiri. Melalui cerita dan tulisan, masyarakat Batilap dan Batampang mengingatkan diri mereka sendiri serta kita semua bahwa menjaga budaya sama artinya dengan menjaga hutan, dan sebaliknya menjaga hutan juga berarti menjaga budaya.

Proyek REDD+ WWI di Gerbang Barito sering digambarkan dengan istilah karbon, konservasi, dan iklim. Namun angka saja tidak cukup untuk menjelaskan mengapa desa-desa ini penting. Cerita sejatinya ada pada suara anak-anak yang menulis kisah pertama mereka, para tetua yang menuturkan bakesah dalam bahasa yang terancam dilupakan, dan sebuah masyarakat yang berani percaya bahwa tradisi mereka bukan sekadar warisan, tetapi kunci menuju masa depan.
Di Batilap dan Batampang, hutan masih berdiri tegak. Kini kata-kata pun tumbuh bersamanya, menguatkan harapan akan masa depan di mana budaya dan hutan terus hidup berdampingan.