top of page

Sungai Membawa Ikan, Perempuan Membawa Segalanya

  • tamaraanisa4
  • 4 Jul
  • 3 menit membaca

Cerita tentang perempuan, beban sehari-hari, dan kepemimpinan yang tak terlihat


Saat fajar baru menyentuh langit, sebelum burung mulai bernyanyi dan jauh sebelum sungai

terpecah oleh dayung, Rukayah sudah terbangun. Ia menyalakan kompor perlahan, berhati-hati agar anak bungsunya tidak terjaga. Panci berbunyi pelan saat ia mulai menanak nasi, dan tanpa berpikir, tangannya meraih ikan asin yang sudah dijemur kemarin. Ia hanya punya waktu dua puluh menit untuk menyiapkan bekal suami, satu jam untuk memandikan anak, menyapu rumah, dan menyambut tengkulak ikan yang datang seminggu sekali dengan kapal dari Banjarmasin.

Ilustrasi grafik "jam aktivitas" ini menunjukkan pola kegiatan harian perempuan di setiap RT berdasarkan FGD di Batilap, Batampang, dan Simpang Telo.
Ilustrasi grafik "jam aktivitas" ini menunjukkan pola kegiatan harian perempuan di setiap RT berdasarkan FGD di Batilap, Batampang, dan Simpang Telo.

Itulah irama hidupnya di  Desa Batilap dan sudah bertahun-tahun tidak banyak berubah, meski dirinya berubah.


Seperti banyak perempuan di Batilap, Rukayah adalah segalanya, ia seorang ibu, istri, pengolah ikan, manajer keuangan keluarga, dan perawat tanpa upah. Ia adalah bagian dari barisan perempuan yang kerja kerasnya jarang terlihat dalam rapat desa atau dokumen rencana pembangunan desa, namun tanpa mereka, roda kehidupan tak akan berputar.


Bagi mereka, hutan bukan sekadar gagasan, ia adalah sumber kehidupan sehari-hari: makanan, obat-obatan, hingga kenangan. Tapi hutan perlahan menghilang, diam-diam menyusut. Semakin banyak pohon ditebang, semakin sedikit ikan yang bisa ditangkap, dan semakin jauh pula mereka harus mencarinya. Dulu, Rukayah bisa mengisi lima bakul ikan asin dalam seminggu. Kini, tiga bakul saja sudah dianggap rezeki besar.


Dan dia tidak sendiri.


ree

Di  Batampang, Tika  memulai hari jam tiga pagi, memasak kue dan jamu untuk dijual. Putrinya akan mengantarkan pesanan sebelum sekolah. Setiap Jumat, ia mengikuti  arisan seratus ribu rupiah seminggu. Jumlah yang tak kecil, tapi baginya itu satu-satunya cara untuk menabung. Bank terlalu jauh, dan uang tunai di rumah sering habis untuk kebutuhan darurat. Saat namanya keluar dalam giliran arisan, ia bisa beli seragam baru untuk anaknya.


Bagi perempuan di sini, arisan bukan sekadar uang melainkan jaring pengaman, kebersamaan, dan cara bertahan hidup. Namun tidak semua bisa ikut. Mereka yang tidak mampu setor kadang terpaksa mundur, dan nama mereka mulai beredar, lebih sering dari uang itu sendiri.



Di  Simpang Telo, Milau membuat ikan asin dan menganyam tikar purun, bakul rotan, dan cerita hidup. Mereka berbicara tentang masa lalu, saat air sungai  lebih jernih dan banjir hanya datang setahun sekali. Kini, hujan datang lebih kejam dan banjir menggenang lebih lama tahun ini. Hampir 4 bulan. Ikan makin sulit didapat dan waktu untuk beristirahat hampir tidak ada.


Mereka menaruh harapan pada proyek karbon dan menyatakan keinginan besar untuk ikut serta. Namun mereka juga mengaku masih bertanya-tanya bagaimana dan kapan mereka bisa benar-benar terlibat dan merasakan dampak dari proyek tersebut.


ree

Wildlife Works Indonesia memulai langkah awal dengan menggelar sesi mendengarkan suara perempuan dari Desa Batilap, Batampang, dan Simpang Telo. Kami percaya perempuan memegang peran sentral dalam pengelolaan sumber daya alam, baik sebagai penggerak rumah tangga maupun penjaga pengetahuan lokal. Dalam konteks kehutanan sosial dan proyek REDD+ di desa-desa ini, partisipasi aktif perempuan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan hutan yang lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.


Sayangnya, ruang bagi perempuan dalam pengambilan keputusan, akses manfaat proyek, dan keterlibatan dalam kegiatan ekonomi masih terbatas. Untuk itu, diperlukan pembentukan serta penguatan kelompok perempuan sebagai ruang untuk memperkuat kapasitas, kemandirian, dan peran mereka dalam pengambilan keputusan desa. Namun sebelum kelompok-kelompok itu terbentuk, penting bagi kami untuk terlebih dahulu menyelami cerita dan keseharian mereka, apa yang mereka jalani, rasakan, dan pikul dalam diam.


Saat ditanya tentang masa depan, suara mereka penuh harapan.


Mereka ingin anak-anak bisa dapat beasiswa. Mereka ingin usaha keramba berkembang. Mereka ingin ada usaha untuk suami dan anak muda tanpa harus menebang pohon. Mereka ingin berhenti membuang sampah ke sungai atau membakarnya di halaman belakang. Mereka ingin  dilibatkan, bukan sekadar didata, tapi didengar dan diajak merancang masa depan bersama.


Karena meskipun hidup mereka penuh beban, mereka tetap berdiri.

Tetap menghidupi.

Tetap menjaga.


Karena sungai memang membawa ikan.

Tapi perempuan membawa segalanya


Lilik Sugiarti

Social Forestry Specialist

Wildlife Works Indonesia

bottom of page